Kamis, 13 Oktober 2016

Rectoverso (DEE)




















“jadi, Sekarang kamu mau bagaimana?” Demikianlah ciri khas malam curhat kita.
Kamu tidak butuh instruksi. Aku hanya bertindak seumpama cermin yang memantulkan segala yang kamu inginkan. Kamu sudah tahu harus berbuat apa, sebagaimana kamu selalu tahu perasaanmu, kepedihanmu, dan langkahmu berikutnya. Kamu hanya butuh kalimat tanya.
“Aku akan diam,” jawabmu dengan nada yang membuat sengguk dan isak barusan tak pernah terjadi
“Diam?”……”ya. Diam!”

Tidak ada lagi usaha macam-macam, mimpi muluk-muluk. Karena aku yakin di luar sana, pasti ada orang yang mau tulus menyayangi ku, yang mau menemani aku saat susah, pada saat aku sakit…

(Curhat buat Sahabat : 8)

Ingin rasanya aku ikut berlari, berteriak agar kau kembali, mencengkeram bahumu agar aku ada di sini. Namun, bahasaku tinggal rasa. Dan entah bagaimana caranya agar rasa bisa bersuara jika raga tak lagi ada. Aku hanya ingin merengkuhmu.

        “Adakah engkau tahu? Aku ada.”

Setahun sudah sejak kau mencatat tanggal kepergianku, dan memang aku tak pernah kembali dalam bentuk yang kau harapkan.

            “Namun, adakah engkau tahu? Aku masih ada.”
“Percayakah kamu? Aku selalu ada. Ke dalam perasaan inilah engkau akan bermuara, ke dalam perasaan inilah engkau akan pulang dan bertemu aku lagi. Dan perasaan itu dapat engkau nikmati sekarang, di dalam hati. Tanpa perlu mati. Sekarang.”
          “Dengarkah kamu? Aku ada. Aku masih ada. Aku selalu ada. Rasakan aku, sebut namaku seperti mantra yang meruncing menuju satu titik untuk kemudian melebur, meluber, dan melebar. Rasakan perasaanku yang bergerak bersama alam untuk menyapamu.”

(Aku ada : 38)

 Aku menghela napas. Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian bahwa AKU TELAH JATUH CINTA. Namun, orang itu hanya mampu ku gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang Cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah ku miliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari berbagai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik, niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa………
(Hanya Isyarat :52)

“ Untuk apa seseorang tahu sesuatu kalau memang tidak ada yang bisa diubah?”

“Untuk apa diberi pertanda jika ternyata tak bisa mengubah apa-apa?”

“Untuk apa tahu sebelum waktunya?”,tanyaku.

           “Untuk belajar menerima,” jawabannya dengan senyum.
            “saat kita belajar menerima, kita juga belajar berdamai. Melalui firasat kita belajar menerima diri, dan berdamai dengan hidup ini,”  nadanya berangsur tegas.

“Yang harus terjadi pasti akan terjadi, tidak ada yang bisa kamu lakukan. LEPASKANLAH……..”
“Ya…! Kadang-kadang pilihan yang terbaik adalah menerima…..”
(Firasat : 101)
Rectoverso karya Dewi Lestari (Dee)




Prolog:
Bagaikan potongan puzzel yang membangun diri menjadi utuh.  Jika satu potong saja telah hilang, puzzel itu tak bisa utuh kembali.
Seperti hati, jika sekeping rasa telah tersakiti, butuh waktu lama untuk sembuh.

Itulah yang saat ini saya rasakan.
 Tersakiti oleh rasa yang CUMA ILUS, lebih menyakitkan………..
Semarang, 13 Oktober 2016. @endahshofya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar