“jadi, Sekarang kamu mau
bagaimana?” Demikianlah ciri khas malam curhat kita.
Kamu tidak butuh instruksi. Aku
hanya bertindak seumpama cermin yang memantulkan segala yang kamu inginkan.
Kamu sudah tahu harus berbuat apa, sebagaimana kamu selalu tahu perasaanmu,
kepedihanmu, dan langkahmu berikutnya. Kamu hanya butuh kalimat tanya.
“Aku akan diam,” jawabmu dengan nada yang membuat
sengguk dan isak barusan tak pernah terjadi
“Diam?”……”ya. Diam!”
Tidak ada lagi usaha macam-macam, mimpi muluk-muluk.
Karena aku yakin di luar sana, pasti ada orang yang mau tulus menyayangi ku,
yang mau menemani aku saat susah, pada saat aku sakit…
Ingin rasanya aku ikut berlari, berteriak agar kau
kembali, mencengkeram bahumu agar aku ada di sini. Namun, bahasaku tinggal
rasa. Dan entah bagaimana caranya agar rasa bisa bersuara jika raga tak lagi
ada. Aku hanya ingin merengkuhmu.
“Adakah
engkau tahu? Aku ada.”
Setahun sudah sejak kau mencatat tanggal kepergianku,
dan memang aku tak pernah kembali dalam bentuk yang kau harapkan.
“Namun,
adakah engkau tahu? Aku masih ada.”
“Percayakah kamu? Aku selalu ada. Ke dalam perasaan
inilah engkau akan bermuara, ke dalam perasaan inilah engkau akan pulang dan
bertemu aku lagi. Dan perasaan itu dapat engkau nikmati sekarang, di dalam
hati. Tanpa perlu mati. Sekarang.”
“Dengarkah kamu? Aku ada. Aku masih ada. Aku selalu ada. Rasakan aku,
sebut namaku seperti mantra yang meruncing menuju satu titik untuk kemudian
melebur, meluber, dan melebar. Rasakan perasaanku yang bergerak bersama alam
untuk menyapamu.”
(Aku ada : 38)
Aku menghela
napas. Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian
bahwa AKU TELAH JATUH CINTA. Namun, orang itu hanya mampu ku gapai sebatas
punggungnya saja. Seseorang yang Cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan
pernah ku miliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang
jatuh yang lenyap keluar dari berbagai mata sebelum tangan ini sanggup
mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit,
awan atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk
punggung karena kalau sampai ia berbalik, niscaya hatiku hangus oleh cinta dan
siksa………
(Hanya Isyarat :52)
“ Untuk apa seseorang tahu sesuatu kalau memang tidak
ada yang bisa diubah?”
“Untuk apa diberi pertanda jika ternyata tak bisa
mengubah apa-apa?”
“Untuk apa tahu sebelum waktunya?”,tanyaku.
“Untuk belajar menerima,” jawabannya
dengan senyum.
“saat kita belajar menerima, kita
juga belajar berdamai. Melalui firasat kita belajar menerima diri, dan berdamai
dengan hidup ini,” nadanya berangsur
tegas.
“Yang harus terjadi pasti akan terjadi, tidak ada yang
bisa kamu lakukan. LEPASKANLAH……..”
“Ya…! Kadang-kadang pilihan yang terbaik adalah
menerima…..”
(Firasat : 101)
Rectoverso karya Dewi Lestari (Dee)
Prolog:
Bagaikan potongan puzzel yang membangun diri menjadi
utuh. Jika satu potong saja telah
hilang, puzzel itu tak bisa utuh kembali.
Seperti hati, jika sekeping rasa telah tersakiti,
butuh waktu lama untuk sembuh.
Itulah yang saat ini saya rasakan.
Tersakiti oleh
rasa yang CUMA ILUS, lebih menyakitkan………..
Semarang, 13 Oktober 2016.
@endahshofya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar